ketidakpastian ialah satu-satunya fakta masa depan. Oleh karena itu, ketidakpastian tersebut hanya dapat ditaklukan oleh kemerdekaan akal manusia itu sendiri, bukan dari janji-janji manis politisi.(Gy)

Minggu, 26 Oktober 2008

ILUSI KEBEBASAN

Semenjak reformasi bergulir, masyarakat kita kebanyakan menganggap bahwa sekarang ini kita berada di era kebebasan. Entah berapa institusi ataupun LSM yang didirikan dengan mengidentifikasikan dengan istilah-istilah kebebasan. Berapa pula tokoh politik intelektual yang juga menyatakan diri sebagai pengusung kebebasan. Dan berapa pula yang menganggap bahwa diri mereka benar-benar merasa bebas. Sekarang mari kita cek ilusi tersebut.

Semenjak manusia mengenal tulisan, ilmu pengetahuan, filsafat, dan gagasan-gagasan kolektif. Manusia telah sepenuhnya hidup dalam mitos. Tidak seperti masyarakat suku pedalaman terasing ataupun masyarakat ’primitif’ yang dapat dengan bebas berpergian, berburu dan juga berdagang---dan bahkan melakukan hubungan seks dengan orang yang belum mereka kenal. Manusia modern dengan segala prosedur dan tetek bengeknya malah merasa dirinya beradab dan bebas. Padahal, semenjak dia lahir, anak-anak zaman modern telah diberi tugas-tugas berat atas nama mitos-mitos, dengan berhala-berhala modern atas nama negara, bangsa, kemajuan, agama dan juga sejarahnya. Anak-anak modern tanpa sadar telah tercerabut dari kehidupan keseharian yang normal menikmati alam realitas yang menawarkan banyak kemungkinan.

Anak-anak modern telah lupa sendiri dengan ayah-ibunya, lupa terhadap tanggungjawab hidupnya, lupa terhadap kodratnya sebagai manusia yang memiliki hak untuk memilih, dan lupa terhadap kemampuan akalnya untuk berfikir. Sejak kecil, anak-anak modern telah menggadaikan alam pikirannya pada sesuatu yang tidak nyata, ilusif dan menjebak.

Entah berapa kali pelajaran pancasila serta kewarganegara dipelajari dari tinggkat SD hinga Universitas. Toh nyatanya? Bukan malah makin membuat otak anak itu semakin cerdas, tapi justru sebaliknya makin membuat mereka tulalit. Entah berapa milyar anak-anak yang menganggap bahwa perang membela bangsa itu berguna, membayar pajak itu baik, bermigrasi itu buruk, menjadi PNS itu mulia, menjadi paranoid pada bangsa asing adalah sikap kepahlawanan.

Bukan tidak mungkin, kalau dilanjutkan parodi yang sering kita lihat tersebut lama-kelamaan terasa menggelikan. Orang-orang produktif dan pekerja keras dicibirkan. Diinjak-injak martabatnya atas nama kolektivitas, kebersamaan dan stabilitas. Hak-hak petani untuk mendapatkan harga yang pantas dari keringatnya telah ditusuk, ditikam, dikebiri, dijilat dan diperkosa. Monster-monster busuk dirias sedemikian rupa dalam iklan-iklan politik. Menyebarkan kebohongan, ketidakjelasan dan kebodohan. Wajah ganas perampok birokrat disorot lampu kamera dengan citra kesuksesan, keberhasilan, kedermawanan dan belas kasih.

Kalau bukan disebut jaman rampok, maka kita sebut apa jaman ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar