ketidakpastian ialah satu-satunya fakta masa depan. Oleh karena itu, ketidakpastian tersebut hanya dapat ditaklukan oleh kemerdekaan akal manusia itu sendiri, bukan dari janji-janji manis politisi.(Gy)

Minggu, 23 November 2008

BELAJAR MAKNA “BELAJAR” DARI YAN ZHITHUI *


Belajar mempunyai dua tujuan. Yang pertama dalah untuk mengasah otak dan memperluas wawasan. Yang kedua adalah untuk membuat seseorang dapat memberikan kontribusi dalam masyarakat. Sayangnya sekarang ini kebanyakan orang menjadikan pembentukan karakter sebagai sarana untuk memperoleh posisi yang baik. Pelayanan apa pun yang ditawarkan mereka terhadap masyarakat hanyalah basa-basi.

Belajar mempunyai nilai praktis dan juga idealis. Selain membentuk karakater, belajar memampukan kamu untuk meningkatkan kecakapanmu secara umum dan menguasai keterampilan tertentu untuk hidup. Keahlianmu dapat membuat kamu bertahan terutama pada masa ketidakpastian ketika tidak ada pekerjaan tetap dan keluarga yang mendukung. Kemampuanmu untuk bertahan tergantung pada pendidikanmu. Keahlian yang bermanfaat adalah lebih baik daripada uang. Apakah kamu pandai atau bodoh, kamu harus belajar. Adalah berguna untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak dan mengenal lebih banyak orang.

Waktu yang paling baik untuk belajar adalah ketika kamu muda dan pikiranmu masih segar. Apa yang telah dipelajari sejak kecil akan bertahan sampai mati. Ketika kamu tumbuh dewasa, kamu akan dikacaukan oleh berbagai hal yang lebih sulit berkonstrasi. Ini alasan kenapa kamu jangan menyiakan masa mudamu. Saya masih ingat apa yang telah saya pelajari ketika setelah berumur tujuh tahun. Tetapi apa ang saya pelajari setelah bermur dua puluh tahuh, saya cenderung untuk melupakannya setelah sebulan.

Karena berbagai alasan, sebagian orang tidak dapat mengabdikan dirinya untuk belajar pada saat mereka masih muda. Dalam hal ini, mereka harus menerima pendidikan ketika mereka dewasa dan harus melipatgandakan usaha mereka untuk mendapatkannya. Pendidikan di usia dewasa sudah tentu selangkah lebih lambat, karena orang dewasa tidak dapat berkompetisi dengan orang muda. Tetapi mereka tidak seharusnya menganggap diri mereka tidak berguna[...]

Belajar itu seperti bercocok tanam. Kamu menuai apa yang kamu tabur. Kamu dapat bercita-cita tinggi. Jika kamu tidak menetapkan cita-cita tinggi bagi dirimu sendiri, kamu mungkin gagal di bawah rata-rata. Untuk belajar sesuatu dengan baik, kamu harus mempelajari karya-karya klasik di bidang yang kamu pilih dan pada saat yang sama belajar dari ahlinya. Hormatilah kekuasaan tapi jangan memperlakukakannya seperti dewa. Kalau tidak mau tidak akan pernah dapat menandinginya. Dengan menggunakan presatasi mereka sebagai titik awal, kamu bisa berharap untuk menandinginya. Pada setiap bidang, ada guru yang hebat, tetapi kau tidak mendapat kesempatan bertemu dengan mereka. Kebanyak orang hanya dapat belajar dari orang yang bukan ahlinya. Jangan membiarkan mereka membatasi potensimu.

Pada setiap bidang profesional ada petunjuk pasti yang dapat diikuti. Jika kamu tidak memahaminya, kamu tidak dapat membuat prestasi yang baik. Maka jangan hanya berkonsentrasi pada keahlian teknis saja.

Saya tidak menentang orang yang berpengetahuan. Tetapi kamu harus memilih profesi kamu. Syarat awal untuk menjadi orang yang terdidik adalah bahwa kamu sudah menguasai bidangmu sendiri. Sangatlah sulit bagi kebanyakan orang untuk menguasai segalanya di bidang yang mereka pilih. Secara maksimum, mereka hanya dapat mempelajari mungkin dua pertiganya. Itu sudah cukup bagus. Jika kamu belajar keahlian khusus, penting sekali untuk belajar di bawah bimbingan seorang ahli. Lebih baik mengetahui sesuatu secara menyeluruh daripada mengetahui sedikit tentang segala hal. Banyak orang pandai tidak menyadari potensi istimewa mereka sendiri karena mereka tidak menjadi ahli di bidang tertentu.

Buku dapat mengajar anak-anak tentang kewajiban mereka terhadap orangtuanya, dan mengubah sikap angkuh menjadi sederhana, kejam menjadi murah hati, pelit menjadi dermawan, kasar menjadi lembut, pemalu menjadi berani, egois menjadi pemerhati, gegabah menjadi sabar dan picik menjadi toleran.

Bagaimanapun juga, banyak orang dapat mengutip kalimat dari apa yang mereka baca, tetapi tidak pernah menjalankan apa yang mereka pelajari. Belajar seharusnya membantu anda meningkatkan diri anda sendiri. Tetapi saya mengamati bahwa orang cenderung untuk menjadi sombong hanya karena mereka mengetahui sesuatu yang orang lain tidak tahu. Mereka memandang rendah generasi mereka dan tidak menghormati orang yang lebih tua. Sebagai hasilnya, orang-orang tidak menyukai mereka. Jika pengetahuan membuat mereka bersikap seperti itu, lebih baik tidak berpengetahuan sama sekali.


* Disadur dari buku Kisah-Kisah Kebijakan China Klasik: Refleksi bagi para pemimpin. Yan Zhitui (531-591) adalah seorang cendekiawan terkenal pada abad ke enam.

Sabtu, 15 November 2008

SERI AJARAN LAO TZU (1): TENTANG LAISSEZ FAIRE

Seorang teman kamarin bercerita tentang acara The Candidate di Metro Tv. Katanya yang menjadi sang tokoh ialah Kwik Kian Gie. Minggu-minggu ini saya memang tidak pernah melihat Tv karena sekarang memang sedang dianugerahi banyak pekerjaan. Menurut cerita sang teman tersebut, yang juga penggemar Kwik---termasuk saya tempoe dulu---menceritakan bahwa Pak Kwik merekomendasikan agar Indonesia mejauh dari ‘pasar bebas’. Serentak saya terdiam….dalam hati saya berbisik: “berapa lama mitos laissez faire perlu ditakuti ini akan berakhir”. Saat itu pula saya sedang menikmati buku Lao Tzu: Daodejing

Dalam kehidupan kenegaraan Sang Guru Tao berkata:
Makin banyak pembatasan dan larangan,
makin miskinlah rakyat
,
makin banyak senjata tajam dimiliki rakyat,
makin kacaulah negara,
makin terampil dan pandai manusianya,
makin aneh-aneh lah hasil karyanya
,
makin ketat hukum ditegakkan,
makin banyaklah rampok dan maling.


Karena itu orang suci mengatakan:
Aku tak bertindak,
Maka manusia akan berkembang dengan sendirinya
,
Aku bersikap tenang,
Maka manusia akan lurus-jujur dengan sendirinya,
Aku selalu santai, Maka manusia akan sejahtera dengan sendirinya,
Aku tak ingin apa-apa,
Maka manusia akan menjadi sederhana dengan sendirinya

Apa yang menjadi inti tulisan ini bukanlah mempersoalkan tentang bagaimana sang guru Tao sampai pada kesimpulan tersebut. Dan juga tidak mempertanyakan basis epistemologis apa sang guru dapat mencapai kesimpulannya yang hakiki? Persoalan tersebut tidak akan saya ulas untuk kali ini. Saat ini dan kedepan, saya akan sedikit-demi sedikit menyangkal beberapa mitos seputar laissez faire yang sering berada di sekeliling kita.

Ada banyak anggapan bahwa laissez faire adalah produk Barat. Anggapan tersebut jelas mitos! Tanpa mengetahui prinsip-prinsip pasar bebas, seseorang memang akan terjebak pada penangkapan simbol-simbol konsep tanpa melihat lebih jauh prinsip-prinsip yang menjadi intinya. Salah satu Prinsip laissez faire adalah adanya batasan bagi pemerintah untuk tidak mencekcoki segala sesuatu terkait manusia. Maka sang guru Tao mengajarkan bahwa ketika saya tidak bertindak, maka orang lain akan sejahtera dengan sendirinya, jelas merupakan ajaran agak aneh bagi orang sekarang. Di saat banyak negara melakukan tindakan bail-out, subsidi, proteksi dan tindakan-tindakan agresif lainnya, yang jelas hal tersebut merupakan pelanggaran bagi prinsip-prinsip pasar bebas.

Inti ajaran Lao Tzu adalah pandangan non tindakan. Menurut Rothbard, dalam artikelnya Concepts of the Role of Intellectuals in Social Change Toward Laissez Faire, Lao Tzu adalah tokoh pertama laissez faire. Menurut pandngan Lao Tzu, bahwa pemerintahan yang baik adalah yang sedikit sekali melakukan sesuatu sehingga rakyatnya dapat hidup dengan bebas. Maka dalam pemerintahan beliau mengajarkan:

Kalau pemerintahan berdiam-diri saja,
Maka rakyat akan menjadi sederhana dan jujur
,
Kalau pemerintah waspada dan tegas,
Maka rakyat akan menjadi cerdik dan nakal.

Nasib baik itu bersandar pada nasib buruk,
Nasib buruk mengintai di belakang nasib baik,
Adakah yang tahu, akhir dari keadaan yang silih berganti ini?

Masih adakah kejujuran di dunia ini? Kalau tak ada lagi,
maka
Keluguan bisa disalah-artikan sebagai kecerdikan, dan
Kebaikan bisa disalah-artikan sebagai kejahatan,
Kesesatan seperti ini sudah berlangsung sejak lama.


Itulah sebabnya orang suci itu:
Berlapang dada, tanpa menampik,
Bermurah hati, tanpa merusak moral,
Bersikap jujur-lurus, tanpa melepas,
Menyebar kebaikan, tanpa membingungkan.

Itulah ajaran sang guru Tao, yang sejak 2600 tahun yang lalu telah mengajarkan tentang laissez faire! Masihkan anda menakutinya?

Salam

Rekomendasi bacaan:
Laozi. 2007. Daodedjing: Kitab Kebijakan dan Kebajikan. (Terj. Tjan K). Yogyakarta: Indonesiatera
Rothbard, M.N. 1986. Concepts of the Role of Intellectuals in Social Change Toward Laissez Faire.

Sabtu, 08 November 2008

REFLEKSI PRAKSIOLOGI, GEOMETRI SERTA DEPRESI



Diskusi ini rencana saya tulis beberapa minggu yang lalu. Setelah membaca kritik Victor Aguilar terhadap praksiologi, saya beranggapan perlu ada refleksi mendasar untuk hal ini. Dalam pandangan saya, permasalahan bukanlah berapa ‘jumlah’ aksioma yang dibutuhkan untuk dapat mengembangkan praksiologi/ekonomi---atau meruntuhkannya. Tapi lebih pada bagaimana kaitan antara suatu aksioma utama---tindakan manusia---hubungannya dengan kategori-kategori tindakan yang secara universal ada dalam diri manusia. Semisal kaitan aksioma tindakan dengan kategori tujuan, cara, waktu, ruang, penilaian, pengetahuan, informasi, argumentasi dsb…Memang tidak dapat disangkal, bahwa Pernyataan tersebut mensyiratkan aksioma tindakan sudah terimplikasikan kebenarannya. Atau dengan kata lain, aksioma tersebut ‘tidak dapat’ diruntuhkan oleh dalil apapun.

Dalam pandangan Aguilar, sebuah aksioma dilihat sebagai sesuatu yang sifatnya kardinal. Artinya, suatu aksioma seharusnya dapat ‘dimasukkan’ ke dalam bahasa matematika. Maka diharapkan akan didapatkan pengetahuan yang benar-benar “sintetik apriori”. Padahal, aksioma tindakan dalam praksiologi tidaklah beroperasi berdasarkan reduksi bahasa matematika yang sifatnya cardinal1, tapi lebih bersifat ordinal. Itupun tidak dapat dipastikan dengan perumusan persamaan matematis apapun. Tugas pengembangan praksiologi adalah penjelesannya yang menggunakan kaidah-kaidah logika berdasarkan aksioma tindakan---bukannya matematika---dan pembatasnya adalah penggunaan bahasa/istilah yang tepat untuk menggambarkan struktur realitas. Sehingga, menurut saya, proposal Aguilar yang ingin memasukkan suatu aksioma dalam sebuah rumusan matematis pasti akan menuju ke jurang kesia-siaan.


Kita abaikan dahulu kritik aksioma dasar Aguilar tersebut. Sekarang kita memasuki sifat-sifat praksiologi. Sementara ini saya melihat beberapa sifat praksiologi yang lebih dekat dengan sifat-sifat geometri---walaupun keduanya berbeda secara mendasar. Praksiologi dan geometri hukum-hukumnya sama-sama dapat dicari melalui cara-cara deduksi, tapi praksiologi jauh lebih memiliki sifat yang lain dari geometri. Dirinya---praksiologi---terkait dengan kategori waktu. Anda harus ingat bahwa dalam hal geometri hanya terkait dengan kategori ruang. Saya kira inilah perbedaan mendasarnya. Selain itu, praksiologi memiliki tugas yang lebih berat, yaitu mencari prinsip-prinsip utama dalam hukum manusia yang sifatnya selalu berubah. Sedangkan, prosedur geometri biasa diterapkan dalam dunia yang memiliki kecenderungan konstan dan pada benda-benda material yang hanya dapat dibatasi oleh sifat fisikalnya.


Saya kira itulah perbedaan mendasar deduksi praksiologi dengan geometri. Selanjutnya kita akan cari kesamaan sifat-sifat keduanya. Sifat utama dari kedua disiplin tersebut adalah mengajarkan tentang suatu keseimbangan. Bayangkan ketika anda dengan sengaja mengubah salah satu garis dari suatu segitiga. Yang akan terjadi adalah perubahan sisi dan komposisi sudut dari segitiga tersebut. Dengan kata lain, perubahan sengaja tersebut akan berdampak terhadap perubahan ‘panjang’ garis sisi lainnya tapi dengan komposisi sudut yang akan tetap seimbang yaitu berjumlah 180o . Apapun yang anda lakukan terhadap segitiga tersebut, jumlah sudutnya dipastikan tidak akan berubah. Begitu juga dalam praksiologi. Katakanlah manusia membutuhkan waktu untuk dapat memproduksi sebuah barang demi kesejahteraannya, dengan demikian dia juga membutuhkan modal dan waktu. Sehingga untuk memproduksi barang atapun mencari modal, manusia juga dibatasi oleh waktu. Tapi ketika datang agen ‘pemompa modal’ dari hampa udara, yang terjadi adalah ‘malinvestasi’ seluruh kegiatan produksi dan konsumsi. Pemompaan sementara terhadap modal akan mengakibatkan boom sesaat, yang suatu ketika akan diikuti oleh bust untuk dapat menyeimbangkan struktur produksi dan konsumsi. Artinya, kekayaan hanya dapat dibangun melalui kesabaran dalam bekerja---yang dibatasi waktu---dengan menghasilkan berbagai nilai, bukannya menambah alat tukar/uang. Sehingga ‘mempercepat’ dengan paksa proses menuju kesejahteraan hanya akan berdampak kekacauan yang serius.(Giy)


1 Bilangan cardinal adalah jumlah bilangan yang mewakili keseluruhan kuantitas (semisal: 1, 2, 3, 4 dsb), berbeda dengan ordinal, ‘suatu jumlah’ yang diartikan dalam bentuk rangkaian seri(katakanlah prioritas) (semisal: pertama, kedua, ketiga, keempat dst)

Minggu, 02 November 2008

“PERTARUNGAN” KAUM “LIBERAL”: KONTRADIKSI BERFIKIR BRYAN CAPLAN

Akhir minggu ini, di mises institute blog terjadi 'pertarungan' sengit antar pendukung Perbank-an Bebas dengan Baku emas dengan pendukung Per-bank-an bebas pendukung Fractional Reserve Bank (FRB). Saya kira diskusi sengit seperti ini tidak akan kita lihat di negari kita. Karena intelektual di negeri kita memang kebanyakan keturunan beo....

terlepas penilaian kasar saya tersebut. Dalam ocehan kali saya akan sedikit mengomentari tentang makna filsafat kebebasan. Dalam hal ini tentang bagaimana seharusnya dunia per-bank-an dijalankan. Ketika seseorang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung ideologi pasar bebas, seharusnya dirinya tidak terjebak dalam alur logika yang kontradiktif dengan filsafat yang diusungnya.

Semisal argumen Bryan Caplan yang mendukung sistem FRB. Konon Caplan adalah seorang anarkis pasar bebas yang mendukung hak milik individu, tapi dalam argumennya membela sistem FRS ber-bank-an. Dia secara gegabah mendukung bahwa 'tabungan' seseorang boleh saja dibagi-bagi kemudian diutangkan ke beberapa orang dengan nilai yang berlipat ganda. Artinya, Ketika sebuah bank memiliki 'cadangan dana' 10 milyar maka dia boleh saja memberi pinjaman kepada pengusaha senilai 100 milyar. Pertanyaannya, darimanakah uang 90 milyar tersebut didapat?

Menurut pendukung Caplan yang mengaku 'liberal' tersebut, uang 90 milyar merupakan hasil nilai jaminan yang diberikan pengusaha kepada per-bank-an dengan nilai yang setara diberi oleh nilai agunan sang pengusaha. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebuah Bank tidak dapat dikatakan mencuri hak milik penabung dengan back up agunan aset sang pengusaha—menurut pendapat Caplan.

Berbeda dengan paham penganut sistem Perbankan Deposit dengan cadangan emas. Mereka, Mises-Rothbard dkk-- dengan prinsip hak milik, mengatakan bahwa seharusnya jumlah deposit bank harus setara dengan jumlah 'nota uang' yang beredar di pasar, ataupun setara dengan jumlah uang yang dipinjamkan kepada pengusaha. Jadi tidak ada 'perlipatan' nilai uang di Per-bank-an. Terlepas efek buruk sistem FRB yang dapat memicu terjadinya krisis. Saya akan mencoba menyoroti dari sisi prinsip filsafat pasar bebas yang saya pahami.

Salah satu prinsip dasar paham pasar bebas adalah adanya pengakuan hak milik pribadi. Dalam sistem ini, apabila diterapkan dalam konsep sistem perbankan kita, maka sang penabung memiliki hak penuh terhadap tabungannya. Seorang Banker harus secara penuh menjamin keamanan simpanan sang nasabah. Adapun resiko apabila terjadi kehilangan, perampokan, ataupun kredit macet adalah resiko yang memang seharusnya ditanggung oleh Banker---ini adalah sesuatu yang wajar dalam berbisnis. Kalaupun ada gagal bayar kredit dari seorang pengusaha, seharusnya yang dikorbankan bukanlah sang nasabah yang menabung di Bank. Tanggungjawab tersebut sepenuhnya harus dipikul bersama oleh Banker yang meminjamkan dana dan juga pengusaha yang meminjam uang di bank tersebut. Bukan sebaliknya, harus dipikul oleh nasabah dengan kehilangan dananya---hal ini yang pernah kita lihat ketika terjadi “rush” tahun 2007, nasabah dibatasi pengambilan dananya cuma Rp. 20 juta. Bukankah ini namanya disebut keadilan? Ketika orang mengambil hak miliknya tapi dilarang pemerintah melalui pembatasan jaminan.

Kembali ke argumen Caplan. Menurut saya, Bryan Caplan---tokoh idola ekonom-ekonom 'liberal' kita--- tidak dapat membedakan antara menabung dan berinvestasi. Ketika seseorang berniat menabung, apa yang diharapkannya adalah mengurangi ketidakpastian masa depan. Sehingga dirinya menyimpan sebagian dananya untuk mengurangi resiko masa depan.

Berbeda dengan berinvestasi. Seorang investor dengan sengaja mengambil resiko untuk mendapat keuntungan. Jadi dalam benak sang investor, dia akan siap menanggung segala apapun resiko asalkan dia mendapat keuntungan. Apabila suatu saat sang investor tidak dapat mendapakan kembali dananya, dia akan siap dengan konsekwensi tersebut. Dan apabila dia mendapatkan keuntungan berdasarkan resiko yang dia ambil, itu juga merupakan balasan yang setimpal atas pilihannya.

Jadi menurut saya, Bryan Caplan, melalui sistem FRB yang didukungnya, menumpangtindihkan antara tujuan menabung dengan investasi. Dengan kata lain, dengan sistem FRB, sang penabung harus ikut menanggung segala resiko yang menjadi pilihan sengaja sang 'investor'.

Jadi disini, menurut saya, sistem FRB yang mengklaim diri bahwa dirinya adalah penganut pasar bebas yang menjamin kepemilikan individu, tidak dapat dikatakan sebagai liberal sejati. Barangkali benar apa yang dikatan oleh seorang teman bahwa: musuh terbesar bagi gerakan liberalisme adalah kaum liberal itu sendiri! Salam