ketidakpastian ialah satu-satunya fakta masa depan. Oleh karena itu, ketidakpastian tersebut hanya dapat ditaklukan oleh kemerdekaan akal manusia itu sendiri, bukan dari janji-janji manis politisi.(Gy)

Minggu, 23 November 2008

BELAJAR MAKNA “BELAJAR” DARI YAN ZHITHUI *


Belajar mempunyai dua tujuan. Yang pertama dalah untuk mengasah otak dan memperluas wawasan. Yang kedua adalah untuk membuat seseorang dapat memberikan kontribusi dalam masyarakat. Sayangnya sekarang ini kebanyakan orang menjadikan pembentukan karakter sebagai sarana untuk memperoleh posisi yang baik. Pelayanan apa pun yang ditawarkan mereka terhadap masyarakat hanyalah basa-basi.

Belajar mempunyai nilai praktis dan juga idealis. Selain membentuk karakater, belajar memampukan kamu untuk meningkatkan kecakapanmu secara umum dan menguasai keterampilan tertentu untuk hidup. Keahlianmu dapat membuat kamu bertahan terutama pada masa ketidakpastian ketika tidak ada pekerjaan tetap dan keluarga yang mendukung. Kemampuanmu untuk bertahan tergantung pada pendidikanmu. Keahlian yang bermanfaat adalah lebih baik daripada uang. Apakah kamu pandai atau bodoh, kamu harus belajar. Adalah berguna untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak dan mengenal lebih banyak orang.

Waktu yang paling baik untuk belajar adalah ketika kamu muda dan pikiranmu masih segar. Apa yang telah dipelajari sejak kecil akan bertahan sampai mati. Ketika kamu tumbuh dewasa, kamu akan dikacaukan oleh berbagai hal yang lebih sulit berkonstrasi. Ini alasan kenapa kamu jangan menyiakan masa mudamu. Saya masih ingat apa yang telah saya pelajari ketika setelah berumur tujuh tahun. Tetapi apa ang saya pelajari setelah bermur dua puluh tahuh, saya cenderung untuk melupakannya setelah sebulan.

Karena berbagai alasan, sebagian orang tidak dapat mengabdikan dirinya untuk belajar pada saat mereka masih muda. Dalam hal ini, mereka harus menerima pendidikan ketika mereka dewasa dan harus melipatgandakan usaha mereka untuk mendapatkannya. Pendidikan di usia dewasa sudah tentu selangkah lebih lambat, karena orang dewasa tidak dapat berkompetisi dengan orang muda. Tetapi mereka tidak seharusnya menganggap diri mereka tidak berguna[...]

Belajar itu seperti bercocok tanam. Kamu menuai apa yang kamu tabur. Kamu dapat bercita-cita tinggi. Jika kamu tidak menetapkan cita-cita tinggi bagi dirimu sendiri, kamu mungkin gagal di bawah rata-rata. Untuk belajar sesuatu dengan baik, kamu harus mempelajari karya-karya klasik di bidang yang kamu pilih dan pada saat yang sama belajar dari ahlinya. Hormatilah kekuasaan tapi jangan memperlakukakannya seperti dewa. Kalau tidak mau tidak akan pernah dapat menandinginya. Dengan menggunakan presatasi mereka sebagai titik awal, kamu bisa berharap untuk menandinginya. Pada setiap bidang, ada guru yang hebat, tetapi kau tidak mendapat kesempatan bertemu dengan mereka. Kebanyak orang hanya dapat belajar dari orang yang bukan ahlinya. Jangan membiarkan mereka membatasi potensimu.

Pada setiap bidang profesional ada petunjuk pasti yang dapat diikuti. Jika kamu tidak memahaminya, kamu tidak dapat membuat prestasi yang baik. Maka jangan hanya berkonsentrasi pada keahlian teknis saja.

Saya tidak menentang orang yang berpengetahuan. Tetapi kamu harus memilih profesi kamu. Syarat awal untuk menjadi orang yang terdidik adalah bahwa kamu sudah menguasai bidangmu sendiri. Sangatlah sulit bagi kebanyakan orang untuk menguasai segalanya di bidang yang mereka pilih. Secara maksimum, mereka hanya dapat mempelajari mungkin dua pertiganya. Itu sudah cukup bagus. Jika kamu belajar keahlian khusus, penting sekali untuk belajar di bawah bimbingan seorang ahli. Lebih baik mengetahui sesuatu secara menyeluruh daripada mengetahui sedikit tentang segala hal. Banyak orang pandai tidak menyadari potensi istimewa mereka sendiri karena mereka tidak menjadi ahli di bidang tertentu.

Buku dapat mengajar anak-anak tentang kewajiban mereka terhadap orangtuanya, dan mengubah sikap angkuh menjadi sederhana, kejam menjadi murah hati, pelit menjadi dermawan, kasar menjadi lembut, pemalu menjadi berani, egois menjadi pemerhati, gegabah menjadi sabar dan picik menjadi toleran.

Bagaimanapun juga, banyak orang dapat mengutip kalimat dari apa yang mereka baca, tetapi tidak pernah menjalankan apa yang mereka pelajari. Belajar seharusnya membantu anda meningkatkan diri anda sendiri. Tetapi saya mengamati bahwa orang cenderung untuk menjadi sombong hanya karena mereka mengetahui sesuatu yang orang lain tidak tahu. Mereka memandang rendah generasi mereka dan tidak menghormati orang yang lebih tua. Sebagai hasilnya, orang-orang tidak menyukai mereka. Jika pengetahuan membuat mereka bersikap seperti itu, lebih baik tidak berpengetahuan sama sekali.


* Disadur dari buku Kisah-Kisah Kebijakan China Klasik: Refleksi bagi para pemimpin. Yan Zhitui (531-591) adalah seorang cendekiawan terkenal pada abad ke enam.

Sabtu, 15 November 2008

SERI AJARAN LAO TZU (1): TENTANG LAISSEZ FAIRE

Seorang teman kamarin bercerita tentang acara The Candidate di Metro Tv. Katanya yang menjadi sang tokoh ialah Kwik Kian Gie. Minggu-minggu ini saya memang tidak pernah melihat Tv karena sekarang memang sedang dianugerahi banyak pekerjaan. Menurut cerita sang teman tersebut, yang juga penggemar Kwik---termasuk saya tempoe dulu---menceritakan bahwa Pak Kwik merekomendasikan agar Indonesia mejauh dari ‘pasar bebas’. Serentak saya terdiam….dalam hati saya berbisik: “berapa lama mitos laissez faire perlu ditakuti ini akan berakhir”. Saat itu pula saya sedang menikmati buku Lao Tzu: Daodejing

Dalam kehidupan kenegaraan Sang Guru Tao berkata:
Makin banyak pembatasan dan larangan,
makin miskinlah rakyat
,
makin banyak senjata tajam dimiliki rakyat,
makin kacaulah negara,
makin terampil dan pandai manusianya,
makin aneh-aneh lah hasil karyanya
,
makin ketat hukum ditegakkan,
makin banyaklah rampok dan maling.


Karena itu orang suci mengatakan:
Aku tak bertindak,
Maka manusia akan berkembang dengan sendirinya
,
Aku bersikap tenang,
Maka manusia akan lurus-jujur dengan sendirinya,
Aku selalu santai, Maka manusia akan sejahtera dengan sendirinya,
Aku tak ingin apa-apa,
Maka manusia akan menjadi sederhana dengan sendirinya

Apa yang menjadi inti tulisan ini bukanlah mempersoalkan tentang bagaimana sang guru Tao sampai pada kesimpulan tersebut. Dan juga tidak mempertanyakan basis epistemologis apa sang guru dapat mencapai kesimpulannya yang hakiki? Persoalan tersebut tidak akan saya ulas untuk kali ini. Saat ini dan kedepan, saya akan sedikit-demi sedikit menyangkal beberapa mitos seputar laissez faire yang sering berada di sekeliling kita.

Ada banyak anggapan bahwa laissez faire adalah produk Barat. Anggapan tersebut jelas mitos! Tanpa mengetahui prinsip-prinsip pasar bebas, seseorang memang akan terjebak pada penangkapan simbol-simbol konsep tanpa melihat lebih jauh prinsip-prinsip yang menjadi intinya. Salah satu Prinsip laissez faire adalah adanya batasan bagi pemerintah untuk tidak mencekcoki segala sesuatu terkait manusia. Maka sang guru Tao mengajarkan bahwa ketika saya tidak bertindak, maka orang lain akan sejahtera dengan sendirinya, jelas merupakan ajaran agak aneh bagi orang sekarang. Di saat banyak negara melakukan tindakan bail-out, subsidi, proteksi dan tindakan-tindakan agresif lainnya, yang jelas hal tersebut merupakan pelanggaran bagi prinsip-prinsip pasar bebas.

Inti ajaran Lao Tzu adalah pandangan non tindakan. Menurut Rothbard, dalam artikelnya Concepts of the Role of Intellectuals in Social Change Toward Laissez Faire, Lao Tzu adalah tokoh pertama laissez faire. Menurut pandngan Lao Tzu, bahwa pemerintahan yang baik adalah yang sedikit sekali melakukan sesuatu sehingga rakyatnya dapat hidup dengan bebas. Maka dalam pemerintahan beliau mengajarkan:

Kalau pemerintahan berdiam-diri saja,
Maka rakyat akan menjadi sederhana dan jujur
,
Kalau pemerintah waspada dan tegas,
Maka rakyat akan menjadi cerdik dan nakal.

Nasib baik itu bersandar pada nasib buruk,
Nasib buruk mengintai di belakang nasib baik,
Adakah yang tahu, akhir dari keadaan yang silih berganti ini?

Masih adakah kejujuran di dunia ini? Kalau tak ada lagi,
maka
Keluguan bisa disalah-artikan sebagai kecerdikan, dan
Kebaikan bisa disalah-artikan sebagai kejahatan,
Kesesatan seperti ini sudah berlangsung sejak lama.


Itulah sebabnya orang suci itu:
Berlapang dada, tanpa menampik,
Bermurah hati, tanpa merusak moral,
Bersikap jujur-lurus, tanpa melepas,
Menyebar kebaikan, tanpa membingungkan.

Itulah ajaran sang guru Tao, yang sejak 2600 tahun yang lalu telah mengajarkan tentang laissez faire! Masihkan anda menakutinya?

Salam

Rekomendasi bacaan:
Laozi. 2007. Daodedjing: Kitab Kebijakan dan Kebajikan. (Terj. Tjan K). Yogyakarta: Indonesiatera
Rothbard, M.N. 1986. Concepts of the Role of Intellectuals in Social Change Toward Laissez Faire.

Sabtu, 08 November 2008

REFLEKSI PRAKSIOLOGI, GEOMETRI SERTA DEPRESI



Diskusi ini rencana saya tulis beberapa minggu yang lalu. Setelah membaca kritik Victor Aguilar terhadap praksiologi, saya beranggapan perlu ada refleksi mendasar untuk hal ini. Dalam pandangan saya, permasalahan bukanlah berapa ‘jumlah’ aksioma yang dibutuhkan untuk dapat mengembangkan praksiologi/ekonomi---atau meruntuhkannya. Tapi lebih pada bagaimana kaitan antara suatu aksioma utama---tindakan manusia---hubungannya dengan kategori-kategori tindakan yang secara universal ada dalam diri manusia. Semisal kaitan aksioma tindakan dengan kategori tujuan, cara, waktu, ruang, penilaian, pengetahuan, informasi, argumentasi dsb…Memang tidak dapat disangkal, bahwa Pernyataan tersebut mensyiratkan aksioma tindakan sudah terimplikasikan kebenarannya. Atau dengan kata lain, aksioma tersebut ‘tidak dapat’ diruntuhkan oleh dalil apapun.

Dalam pandangan Aguilar, sebuah aksioma dilihat sebagai sesuatu yang sifatnya kardinal. Artinya, suatu aksioma seharusnya dapat ‘dimasukkan’ ke dalam bahasa matematika. Maka diharapkan akan didapatkan pengetahuan yang benar-benar “sintetik apriori”. Padahal, aksioma tindakan dalam praksiologi tidaklah beroperasi berdasarkan reduksi bahasa matematika yang sifatnya cardinal1, tapi lebih bersifat ordinal. Itupun tidak dapat dipastikan dengan perumusan persamaan matematis apapun. Tugas pengembangan praksiologi adalah penjelesannya yang menggunakan kaidah-kaidah logika berdasarkan aksioma tindakan---bukannya matematika---dan pembatasnya adalah penggunaan bahasa/istilah yang tepat untuk menggambarkan struktur realitas. Sehingga, menurut saya, proposal Aguilar yang ingin memasukkan suatu aksioma dalam sebuah rumusan matematis pasti akan menuju ke jurang kesia-siaan.


Kita abaikan dahulu kritik aksioma dasar Aguilar tersebut. Sekarang kita memasuki sifat-sifat praksiologi. Sementara ini saya melihat beberapa sifat praksiologi yang lebih dekat dengan sifat-sifat geometri---walaupun keduanya berbeda secara mendasar. Praksiologi dan geometri hukum-hukumnya sama-sama dapat dicari melalui cara-cara deduksi, tapi praksiologi jauh lebih memiliki sifat yang lain dari geometri. Dirinya---praksiologi---terkait dengan kategori waktu. Anda harus ingat bahwa dalam hal geometri hanya terkait dengan kategori ruang. Saya kira inilah perbedaan mendasarnya. Selain itu, praksiologi memiliki tugas yang lebih berat, yaitu mencari prinsip-prinsip utama dalam hukum manusia yang sifatnya selalu berubah. Sedangkan, prosedur geometri biasa diterapkan dalam dunia yang memiliki kecenderungan konstan dan pada benda-benda material yang hanya dapat dibatasi oleh sifat fisikalnya.


Saya kira itulah perbedaan mendasar deduksi praksiologi dengan geometri. Selanjutnya kita akan cari kesamaan sifat-sifat keduanya. Sifat utama dari kedua disiplin tersebut adalah mengajarkan tentang suatu keseimbangan. Bayangkan ketika anda dengan sengaja mengubah salah satu garis dari suatu segitiga. Yang akan terjadi adalah perubahan sisi dan komposisi sudut dari segitiga tersebut. Dengan kata lain, perubahan sengaja tersebut akan berdampak terhadap perubahan ‘panjang’ garis sisi lainnya tapi dengan komposisi sudut yang akan tetap seimbang yaitu berjumlah 180o . Apapun yang anda lakukan terhadap segitiga tersebut, jumlah sudutnya dipastikan tidak akan berubah. Begitu juga dalam praksiologi. Katakanlah manusia membutuhkan waktu untuk dapat memproduksi sebuah barang demi kesejahteraannya, dengan demikian dia juga membutuhkan modal dan waktu. Sehingga untuk memproduksi barang atapun mencari modal, manusia juga dibatasi oleh waktu. Tapi ketika datang agen ‘pemompa modal’ dari hampa udara, yang terjadi adalah ‘malinvestasi’ seluruh kegiatan produksi dan konsumsi. Pemompaan sementara terhadap modal akan mengakibatkan boom sesaat, yang suatu ketika akan diikuti oleh bust untuk dapat menyeimbangkan struktur produksi dan konsumsi. Artinya, kekayaan hanya dapat dibangun melalui kesabaran dalam bekerja---yang dibatasi waktu---dengan menghasilkan berbagai nilai, bukannya menambah alat tukar/uang. Sehingga ‘mempercepat’ dengan paksa proses menuju kesejahteraan hanya akan berdampak kekacauan yang serius.(Giy)


1 Bilangan cardinal adalah jumlah bilangan yang mewakili keseluruhan kuantitas (semisal: 1, 2, 3, 4 dsb), berbeda dengan ordinal, ‘suatu jumlah’ yang diartikan dalam bentuk rangkaian seri(katakanlah prioritas) (semisal: pertama, kedua, ketiga, keempat dst)

Minggu, 02 November 2008

“PERTARUNGAN” KAUM “LIBERAL”: KONTRADIKSI BERFIKIR BRYAN CAPLAN

Akhir minggu ini, di mises institute blog terjadi 'pertarungan' sengit antar pendukung Perbank-an Bebas dengan Baku emas dengan pendukung Per-bank-an bebas pendukung Fractional Reserve Bank (FRB). Saya kira diskusi sengit seperti ini tidak akan kita lihat di negari kita. Karena intelektual di negeri kita memang kebanyakan keturunan beo....

terlepas penilaian kasar saya tersebut. Dalam ocehan kali saya akan sedikit mengomentari tentang makna filsafat kebebasan. Dalam hal ini tentang bagaimana seharusnya dunia per-bank-an dijalankan. Ketika seseorang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung ideologi pasar bebas, seharusnya dirinya tidak terjebak dalam alur logika yang kontradiktif dengan filsafat yang diusungnya.

Semisal argumen Bryan Caplan yang mendukung sistem FRB. Konon Caplan adalah seorang anarkis pasar bebas yang mendukung hak milik individu, tapi dalam argumennya membela sistem FRS ber-bank-an. Dia secara gegabah mendukung bahwa 'tabungan' seseorang boleh saja dibagi-bagi kemudian diutangkan ke beberapa orang dengan nilai yang berlipat ganda. Artinya, Ketika sebuah bank memiliki 'cadangan dana' 10 milyar maka dia boleh saja memberi pinjaman kepada pengusaha senilai 100 milyar. Pertanyaannya, darimanakah uang 90 milyar tersebut didapat?

Menurut pendukung Caplan yang mengaku 'liberal' tersebut, uang 90 milyar merupakan hasil nilai jaminan yang diberikan pengusaha kepada per-bank-an dengan nilai yang setara diberi oleh nilai agunan sang pengusaha. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebuah Bank tidak dapat dikatakan mencuri hak milik penabung dengan back up agunan aset sang pengusaha—menurut pendapat Caplan.

Berbeda dengan paham penganut sistem Perbankan Deposit dengan cadangan emas. Mereka, Mises-Rothbard dkk-- dengan prinsip hak milik, mengatakan bahwa seharusnya jumlah deposit bank harus setara dengan jumlah 'nota uang' yang beredar di pasar, ataupun setara dengan jumlah uang yang dipinjamkan kepada pengusaha. Jadi tidak ada 'perlipatan' nilai uang di Per-bank-an. Terlepas efek buruk sistem FRB yang dapat memicu terjadinya krisis. Saya akan mencoba menyoroti dari sisi prinsip filsafat pasar bebas yang saya pahami.

Salah satu prinsip dasar paham pasar bebas adalah adanya pengakuan hak milik pribadi. Dalam sistem ini, apabila diterapkan dalam konsep sistem perbankan kita, maka sang penabung memiliki hak penuh terhadap tabungannya. Seorang Banker harus secara penuh menjamin keamanan simpanan sang nasabah. Adapun resiko apabila terjadi kehilangan, perampokan, ataupun kredit macet adalah resiko yang memang seharusnya ditanggung oleh Banker---ini adalah sesuatu yang wajar dalam berbisnis. Kalaupun ada gagal bayar kredit dari seorang pengusaha, seharusnya yang dikorbankan bukanlah sang nasabah yang menabung di Bank. Tanggungjawab tersebut sepenuhnya harus dipikul bersama oleh Banker yang meminjamkan dana dan juga pengusaha yang meminjam uang di bank tersebut. Bukan sebaliknya, harus dipikul oleh nasabah dengan kehilangan dananya---hal ini yang pernah kita lihat ketika terjadi “rush” tahun 2007, nasabah dibatasi pengambilan dananya cuma Rp. 20 juta. Bukankah ini namanya disebut keadilan? Ketika orang mengambil hak miliknya tapi dilarang pemerintah melalui pembatasan jaminan.

Kembali ke argumen Caplan. Menurut saya, Bryan Caplan---tokoh idola ekonom-ekonom 'liberal' kita--- tidak dapat membedakan antara menabung dan berinvestasi. Ketika seseorang berniat menabung, apa yang diharapkannya adalah mengurangi ketidakpastian masa depan. Sehingga dirinya menyimpan sebagian dananya untuk mengurangi resiko masa depan.

Berbeda dengan berinvestasi. Seorang investor dengan sengaja mengambil resiko untuk mendapat keuntungan. Jadi dalam benak sang investor, dia akan siap menanggung segala apapun resiko asalkan dia mendapat keuntungan. Apabila suatu saat sang investor tidak dapat mendapakan kembali dananya, dia akan siap dengan konsekwensi tersebut. Dan apabila dia mendapatkan keuntungan berdasarkan resiko yang dia ambil, itu juga merupakan balasan yang setimpal atas pilihannya.

Jadi menurut saya, Bryan Caplan, melalui sistem FRB yang didukungnya, menumpangtindihkan antara tujuan menabung dengan investasi. Dengan kata lain, dengan sistem FRB, sang penabung harus ikut menanggung segala resiko yang menjadi pilihan sengaja sang 'investor'.

Jadi disini, menurut saya, sistem FRB yang mengklaim diri bahwa dirinya adalah penganut pasar bebas yang menjamin kepemilikan individu, tidak dapat dikatakan sebagai liberal sejati. Barangkali benar apa yang dikatan oleh seorang teman bahwa: musuh terbesar bagi gerakan liberalisme adalah kaum liberal itu sendiri! Salam

Rabu, 29 Oktober 2008

AVILIANI : ANAK AYAM INTERVENSIONIS

Pagi ini di headline kompas, Kadin meminta agar suku bunga diturunkan. Konon, hal itu untuk membantu menghidupkan sektor riil. Salah satu ekonom termasyur di Indonesia yang sering disorot media adalah Ibu Aviliani yang juga menjadi salah satu mengusung proposal agar suku bunga diturunkan. Entah beliau itu maksudnya apa? Sejak awal membaca pernyataan-pernyataannya beliau, saya menyimpulkan bahwa Aviliani ialah seorang penjilat. Pertama kali sejak saya membaca pernyataannya pertama kali di Koran Kompas mengenai pertanian, mendengar rekomendasi-rekomendasinya lewat Televisi, lama-lama kelamaan orang ini semakin membuat saya gusar. Dan hari ini dia mengusulkan sesuatu yang kontradiktif dengan pernyataannya di kompas mengenai pertanian beberapa bulan yang lalu. Salah satu yang paling terkonyol adalah proposal agar Indonesia menyerukan untuk menjadi salah satu negara yang mengusulkan agar Dunia membuat mata uang tunggal. Rekomendasi yang demikian, jelas-jelas telah diwanti-wanti oleh Prof Rothbard berpuluh tahun yang lalu. Dalam bukunya, Prof Rothbard menulis:

Dan tujuan akhir hampir semua pemimpin Amerika dan dunia adalah berupa visi lama Keynesian tentang sebuah mata uang kertas fiat standar, sebuah unit mata uang baru yang dikeluarkan oleh semacam Bank Cadangan Dunia.

Kemudian Prof Rothbard dengan pesimis mengatakan:

ketika kita menatap masa depan, prediksi terhadap dolar dan sistem moneter internasional sangat buram. Hingga dan kecuali jika kembali kepada baku emas klasik pada harga emas yang realistis, nasib sistem keuangan internasional akan terombang ambing antara nilai tukar tetap atau nilai tukar fluktuatif, yang masing-masing sama-sama menjajikan persoalan tanpa solusi, yang sama-sama berfungsi secara buruk, dan akhirnya mengalami disintegrasi. Bahan bakar disintegrasi ini adalah inflasi yang berkelanjutan, akibat pasokan dolar dan juga harga-harga di Amerika yang tidak memperlihatkan tanda-tanda penurunan. Prospek ke depan adalah inflasi yang kian meningkat dan semakin membumbung di dalam negeri, yang akan diikuti dengan runtuhnya sistem moneter dan ekonomi-perang di luar negeri.


Bukannya memberikan solusi, yang jelas proposal Aviliani dkk tersebut akan dapat memperparah kondisi yang telah lama diprediksikan sang Profesor.

Jadi, bagi masyarakat awam yang sering membaca media massa ataupun melihat televisi. Dan jika mendengar pernyataan-pernyataan Ekonom seperti Aviliani. Saran saya, anda harus hati-hati dan mencobalah untuk berfikir ulang mengenai semua apa yang diucapkan oleh tokoh-tokoh di media massa.


Salam



Minggu, 26 Oktober 2008

ILUSI KEBEBASAN

Semenjak reformasi bergulir, masyarakat kita kebanyakan menganggap bahwa sekarang ini kita berada di era kebebasan. Entah berapa institusi ataupun LSM yang didirikan dengan mengidentifikasikan dengan istilah-istilah kebebasan. Berapa pula tokoh politik intelektual yang juga menyatakan diri sebagai pengusung kebebasan. Dan berapa pula yang menganggap bahwa diri mereka benar-benar merasa bebas. Sekarang mari kita cek ilusi tersebut.

Semenjak manusia mengenal tulisan, ilmu pengetahuan, filsafat, dan gagasan-gagasan kolektif. Manusia telah sepenuhnya hidup dalam mitos. Tidak seperti masyarakat suku pedalaman terasing ataupun masyarakat ’primitif’ yang dapat dengan bebas berpergian, berburu dan juga berdagang---dan bahkan melakukan hubungan seks dengan orang yang belum mereka kenal. Manusia modern dengan segala prosedur dan tetek bengeknya malah merasa dirinya beradab dan bebas. Padahal, semenjak dia lahir, anak-anak zaman modern telah diberi tugas-tugas berat atas nama mitos-mitos, dengan berhala-berhala modern atas nama negara, bangsa, kemajuan, agama dan juga sejarahnya. Anak-anak modern tanpa sadar telah tercerabut dari kehidupan keseharian yang normal menikmati alam realitas yang menawarkan banyak kemungkinan.

Anak-anak modern telah lupa sendiri dengan ayah-ibunya, lupa terhadap tanggungjawab hidupnya, lupa terhadap kodratnya sebagai manusia yang memiliki hak untuk memilih, dan lupa terhadap kemampuan akalnya untuk berfikir. Sejak kecil, anak-anak modern telah menggadaikan alam pikirannya pada sesuatu yang tidak nyata, ilusif dan menjebak.

Entah berapa kali pelajaran pancasila serta kewarganegara dipelajari dari tinggkat SD hinga Universitas. Toh nyatanya? Bukan malah makin membuat otak anak itu semakin cerdas, tapi justru sebaliknya makin membuat mereka tulalit. Entah berapa milyar anak-anak yang menganggap bahwa perang membela bangsa itu berguna, membayar pajak itu baik, bermigrasi itu buruk, menjadi PNS itu mulia, menjadi paranoid pada bangsa asing adalah sikap kepahlawanan.

Bukan tidak mungkin, kalau dilanjutkan parodi yang sering kita lihat tersebut lama-kelamaan terasa menggelikan. Orang-orang produktif dan pekerja keras dicibirkan. Diinjak-injak martabatnya atas nama kolektivitas, kebersamaan dan stabilitas. Hak-hak petani untuk mendapatkan harga yang pantas dari keringatnya telah ditusuk, ditikam, dikebiri, dijilat dan diperkosa. Monster-monster busuk dirias sedemikian rupa dalam iklan-iklan politik. Menyebarkan kebohongan, ketidakjelasan dan kebodohan. Wajah ganas perampok birokrat disorot lampu kamera dengan citra kesuksesan, keberhasilan, kedermawanan dan belas kasih.

Kalau bukan disebut jaman rampok, maka kita sebut apa jaman ini?

Jumat, 24 Oktober 2008

Mengenai Per-Bank-an: Konsep Waktu dan Tindakan


Entar malam Metro tv ngadain diskusi. Pembicaranya rencana para Analis Bankir ternama di Indonesia. Saya dapat menduga apa yang akan mereka bicarakan dan usulkan. Kalau ada yang menganggap rekomendasi-rekomendasi mereka sebagai hal yang serius, saya kira itu adalah pilihan yang tulalit.

Sebenarnya saya kasihan dengan masyarakat kita. Mereka selalu dibodohi dengan istilah-istilah 'melangit' ahli ekonomi. Termasuk para analis perbangkan. Entar akan muncul wacana dari mereka, semisal: 'untuk menggerakan sektor riil, untuk membantu liquiditas, untuk 'menyelamatkan fundamental' ekonomi bangsa. Sekali lagi semua itu bulsit!!!! Intinya, mereka tidak kepingin diri mereka bangkrut. Termasuk juga pemerintah yang memiliki kepentigan kapital maupun kekuasaan politis.


Kekusaan Sang Waktu

Untuk itu marilah kita diskusi ke ranah praksiologi. Waktu adalah kategori yang tidak dapat dilepas dari kehidupan. Waktu adalah kendala manusia dalam menjalani hidup. Dengan demikian, waktu merupakan suatu yang niscaya. Untuk menghadapi waktu, manusia menghadapi beribu rintangan dan hambatan. Barangkali itu adalah salah satu alasan mengapa kita disuruh hidup di bumi, bukannya di surga!

Dalam ranah tindakan, manusia lebih cenderung memilih sesuatu yang cepat ataupun segera. Katanlah di dalam dunia transaksi, sang pelanggan pasti lebih memilih kios dengan pelayanan yang cepat dan gesit daripada kios yang melayani pelanggan dengan lemot seperti bekecot.

Begitu juga dalam hal keuntungan, pengusaha pasti lebih memilih usaha yang cepat memberi untung daripada memilih usaha yang untungnya lama. Misalnya berternak bekecot. Makanya, para pengusaha sering ngutang ke para Banker untuk mendapat modal dengan cepat.

Karena pengusaha memang tugasnya memproduksi dan memproduksi, dia juga kepingin memproduksi barang dengan jumlah banyak dan cepat agar juga cepat mendapat keuntungan. Tapi tindakan yang demikian tidak mungkin mereka lakukan---sekali lagi karena kendala waktu! Maka sang pengusaha pun harus bersabar.

Tapi apa jadinya jika mereka tidak mau bersabar. Pengusaha kepingin cepat memproduksi, Bankir pingin cepat mendapat “bunga” dari modal yang dipinjamkannya pada pengusaha. Sedangkan si Penabung di Bank, kepingin masa depannya lebih aman dengan menyimpan uangnya di Bank. Sekali lagi musuh manusia adalah waktu.


Dosa para Bankir

Munculnya bunga tidak lepas dari kaitannya dengan preferensi waktu masyarakat. Masyarakat, yang kebanyakan menyimpan uangnya untuk menghadapi ketidakpastian masa depan harus merugi karena ulah para bankir yang ceroboh. Apabila ada kredit macet, yang disalahkan seharusnya bukanya para pengusaha. Yang perlu bertanggunjawab sebenarnya adalah para Bankir itu sendiri.

Tapi, dari sudut pandang anarkis, sekali lagi, pemerintah tidak pernah menghukum para bankir. Tapi justru yang sering dilakukan adalah dengan membantu para Bankir lewat dana talangan yang berasal dari pajak rakyat atau dengan menerbitkan surat utang baru. Jadi kalau menganggap bahwa pemerintah adalah agen penegak keadilan itulah adalah anggapan yang salah besar.

Namun demikian, saya kira kita masih beruntung mempunyai tokoh cerdas seperti Pak Budiono. Beliau dengan cekatan menaikan tingkat suku bunga, agar para pengusaha dan bankir tidak seenak udelnya bertransaksi uang kredit. Selain itu, peningkatan suku bunga juga dapat mengurangi terjadinya resiko inflasi. Karena “diharapkan” akan dapat menjaga investor agar tidak membeli dolar. Baik dalam transaksi pasar saham ataupun di dalam traksaksi lainnya.

Terlepas kecerdasan “Pak Budiono”, apa yang menjadi pelajaran dari kasus deflasi saat ini adalah. Pelajaran yang sudah sangat kuno dan bahuela. Yaitu, hati-hati dengan utang! Bisa-bisa hal tersebut akan membunuh anda sendiri. Kalau suatu saat anda ditagih hutang tapi tidak bisa bayar, yang terjadi kemudian adalah anda tidak akan mampu belanja seperti hari-hari biasanya. Maka ekonomi terasa seperti 'melambat' kayak bekecot.

Bagi Ekonom Mainstream, solusi bagi mereka dalam massa deflasi seperti sekarang ini, termasuk solusi dari Meteri Keungan kita, yaitu dengan menggelontorkan cepat-cepat anggaran belanja pemerintah. Biar entar masyarakat dapat mendapat uang dari proyek-proyek pemerintah yang belum terealisasi. Dalam istilah ekonomi standar Universitas, ini disebut kebijakan fiskal yang longgar. ---selain kebijakan penurunan pajak.

Sedangkan bagi solusi para analis perbankan, yang sering kita baca di koran-koran dan televisi, adalah agar Bank Indonesia dapat membantu mencairkan liquiditas ketat yang terjadi di pasar. Caranya, yaitu dengan menyarankan agar tingkat suku bunga diturunkan, ekspansi kredit dsb....Itu semua, kalau saya boleh menilai, adalah ibarat mengajak kita semua sama-sama ke neraka jahanam.

Kembali ke diskusi praksiologi. Untuk melawan sang waktu, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Apa yang terjadi saat ini adalah murni alamiah akibat ekpansi kredit global yang makin hari-makin meningkat. Sebuah tindakan yang mencoba melawan sang WAKTU!

Salam


TENTANG “KIRI”

Seorang teman berkomentar menganai blog baru saya ini. Ya, seolah-olah apa yang saya tulis di blog ini memang berbahaya. Tapi menurut saya masih saya anggap biasa. Ini barangkali hanya masalah budaya. Ada teman lain yang mengatakan bahwa saya adalah seorang pendukung kapitalisme yang berbau kiri. Entah apa maksudnya, kelihatannya sangat menarik untuk saya komentari.

Istilah “kiri” menandakan suatu yang kritis---kalau tidak dianggap kronis. Kiri seolah mewakili anti kemapanan dan anti kemandegan. Apakah ini berarti paham 'kiri' selalu mengatakan "anti"? Saya kira tidak juga.

Istilah “kiri” dan “kanan” memang selalu membingungkan---khususnya bagi orang yang tidak mau membaca. Bagi kaum kiri, seolah-olah cuma milik kaum marxis, padahal dunia tidak sesempit itu.

Pandangan saya jelas liberal, anarkis. Kalau komentar teman saya itu benar berarti dalam ideologi saya bisa dianggap orang yang liberal anarkis tapi kiri? Wah paham apa pula itu. Ya itulah permaian kata-kata khas ilmu sosial, yang sering disebut pemetaan-pemetaan ideologi.

Terlepas masuk kotak apa saya dikategorikan orang, yang jelas ini adalah hasil dari sebuah proses. Proses yang panjang, panjanga, dan panjanga.

Teriring salam dan damai, saya mohon maaf jika tulisan di blog ini ada menyakit hati seseorang---termasuk Pak Presiden. Tapi yang jelas, saya memang sudah jengkel dengan perilaku politisi kita.


Salam

Kamis, 23 Oktober 2008

SAYA BERSYUKUR PUNYA PRESIDEN DUNGU


Menjelang pemilu 2009 iklan politik semakin marak. Tidak kalah semaraknya ialah iklan politik dari pemerintah yang menggembar-nggemborkan program-programnya. Entah apa yang dimaksud. Ada sebagian iklan yang membuat Bapak saya memaki-maki iklan di televisi, yaitu iklan tentang pertanian.

Tidak jelas apa yang disampaikan di sana. Menteri pertanian menyerukan agar petani ’tetap bekerja keras’. Konon saat ini petani sejahtera. Yang jelas menurut saya sebagai anak petani: IKLAN ITU BOHONG BESAR!

Ada iklan lain yang kontradiktif dengan iklan dari Departemen Pertanian, yaitu iklan dari Partai Demokrat. Konon, partai tersebut saat ini berhasil memimpin Indonesia karena telah menjalankan program-programnya. Seperti BLT, Raskin, dan Program Pengentasan Kemiskinan.

Entah apa isi di otak Presidan Kita. Katanya sih lulusan Program Doktor dari Institute Pertanian Bogor. Tapi di otaknya Cuma mikirin karir politik doank. Memahami nasib petani aja ndk becus, kok bisa lulus ujian doktor di Institute Pertanian?

Ya, saya bersyukur punya Presiden yang dungu. Karena hal tersebut memotivasi saya untuk terus belajar. Kalau pun saya hidup di zaman yang menganggap bahwa pemerintah bisa mensejahterkan rakyatnya---bukannya sebaliknya--- saya dapat memaklumi anggapan-anggapan tersebut. Karena kebodohan itu memang ciptaan pemerintah. Yang jelas melalui sistem pendidikan!

Selamat Datang


Ini adalah blog pribadi pertama saya. Tulisan kali cuma perkenalan, dimaksudkan untuk sekedar test!test!test! Dicoba test!test!test!

Saya adalah seorang anarkis. Seorang yang tidak percaya bahwa pemerintah adalah raja. Bagiku, raja adalah diri kita sendiri. Nasib kita ada di tangan kita sendiri, tidak ada seorangpun yang berhak menentukan takdir manusia yang lain. Musuh saya adalah negara, termasuk yang menjalankannya. Banyak alasan untuk saya mengatakan demikian (alasan mendasarnya adalah cerita semasa kecil, yang suatu saat pasti akan saya tulis di blog ini).


Kegemaran gw ialah menulis, membaca, berbicara dan bekerja. Hoby saya saat ini lagi demen-demennya menjadi kapitalis sejati. Kapitalis kecil yang bermimpi menjadi Adam Smith abad 21. Tidak seperti kapitalis sekarang ini yang banyak merengek untuk mendapat “susu manis” dari pemerintah. Saya benci kapitalis yang demikian. Mereka adalah sumber ketidak adilan, sumber kebejatan, sumber kemunafikan, sumber segala nista dan sumber dari kekacauan yang terjadi sekarang ini.


Hoby keilmuan saya adalah mempelajari praksiologi---ilmu mengenai tindakan manusia. Ilmu ini dipopulerkan oleh pemikir besar Ludwig von Mises. Basis epistemologisnya ialah rasionalisme. Untuk sementara saya menyebutnya ilmu logika tindakan manusia.


Bacaan saya mencakup buku-buku enterpreneurship, sejarah, sosiologi, komputer, ekonomi, filsafat, geografi dan semua tulisan yang bisa saya baca---termasuk pornoteks!


Saya mempercayai bahwa kapitalisme dan globalisasi suatu yang patut diperjuangkan. Ketika yang lain membecinya, saya mencintainya. Ketika yang lain menghujatnya, saya akan membela mati-matian. Anda boleh saja keberatan! Tapi itulah yang saya yakini.


Sekian dulu pembukaan ini. Besok-besok Insya Alloh kita pasti akan bertemu lagi.

Salam

Giy